Ilustrasi penguasa. (Foto Kolase Junaidi Ari Delung) |
Kamis, 15 Desember 2023 lalu, saya bertemu dengan seorang mantan kepala daerah di Aceh. Saya dan puluhan teman-teman menunggu orang yang sama. Pada kesempatan itu, kami bersilaturrahmi dan berbincang hangat dengan dirinya yang didampingi dengan seorang teman.
Ia
menceritakan pengalaman dan kisah saat dirinya menjadi pejabat tinggi di daerah
itu. Ia memulai, bahwa daerah yang pernah ia pimpin dulu mengalami defisit
anggaran.
Tidak
hanya di daerahnya saja yang defisit, melainkan juga di kabupaten dan kota
lainnya di Aceh.
Lantas
saya menanyakan, apa sebenarnya faktor utama defisit anggarannya? Lalu apakah
dari laporan itu dijelaskan kenapa defisit anggaran.
Ia
menjawab, pemimpin di daerahnya itu mengaku karena ada beberapa faktor seperti
membayar tulah para reje, dan untuk gaji P3K. Akibat itu menyebabkan terjadinya
defisit anggaran hingga 40 miliar lebih.
Faktor
lain, tanya saya lagi. Ia sebenarnya berberat hati mengupas soal itu, namun demi
pengetahuan agar tidak diperbudak kebodohan sehingga ia menyebutkan.
“Kalian
harus tahu,” katanya. Faktor utama defisit anggaran adalah pengelolaan anggaran
yang tidak tepat.
Ia
mengaku ada pemangkasan dana yang setiap kegiatan berlangsung. Makan bersama
dengan pejabat tinggi dan sebagainya. Mestinya dibayar 10 juta, namun dalam
laporan mencapai 50 juta.
Tidak
di kegiatan itu saja. Faktor ini ternyata memiliki regenerasi sehingga juga
berlangsung dalam OPD di kabupaten itu. Segala apapun disiasati untuk meraih
keuntungan besar. Siasat ini yang kemudian membuat anggaran daerah itu defisit.
Terus
terang, pemerintah saat ini jauh ingin mendapatkan kekuasaan penuh terhadap
uang negara. Memanfaatkan uang negara untuk memperkaya diri yang padahal sudah
digaji oleh negara. Ini sebuah tindakan aneh yang setiap pemimpin daerah
memiliki konsep ini.
Kita
tahu, zaman dulu pemimpin malahan tidak berani memanfaatkan uang negara untuk
kepentingan pribadi. Mengupas pemimpin di masa ke khalifahan. Ia datang dengan
membawa baju dan ilmu, juga selesai memimpin membawa baju dan ilmu pula. Tidak sepeserpun
ia bawa dari hasil memimpin di negeri orang.
Saat
ini tidak. Semakin menjadi pemimpin, hutang dan beban semakin tinggi. Atasan
menekan dan harus jadi pemenuhan. Daerah itu kini sangat disayangkan karena
menjadi daerah untuk permainan tanpa disentuh dengan pembangunan.
Tulisan
ini menyampaikan bahwa, defisit anggaran itu sebenarnya sudah diatur dan
disengaja oleh pemimpin atau kepala daerah apalagi menjabat sebagai “Penjabat”.
Sebuah kesempatan emas untuk mengumpulkan harta dari rakyat melalui uang
negara.
Banyak
fakta yang di dapat, ada pemimpin hanya sebatas pemenuhan formalitas. Yang
penting sudah Pj, lalu meninjau kegiatan-kegiatan yang ada tanpa ada upaya
pemikiran untuk memajukan suatu daerah dan pembangunan yang sumringah untuk
generasi masa depan.
Untuk
mendapatkan Pj ini juga harus berbeli dengan pejabat di pusat. Tidak tanggung-tanggung,
dengan anggaran miliaran jabatan “Pj” dibeli dengan semenarik mungkin untuk
menguasai suatu daerah. Indah bukan?
Adanya
pelelangan yang menarik untuk menjadi penguasa di daerah ini. Sadis dan tentu
rakyat semakin membenci sosok pemimpin seperti ini. Mereka masuk ke sistem yang
tidak lagi relevansi dengan misi dan visi daerah, melainkan sebagai kaki dan
atm untuk orang-orang yang berkuasa.
Sudahlah.
Yang penting kita berjuang untuk melawan itu. Meski tidak dengan fisik, kita
akan bangkit dengan cara apapun, termasuk melalui integritas literasi.***
Komentar
Posting Komentar