Langsung ke konten utama

CINTA DAN KEBAHAGIAAN

Ilustrasi Cinta dan Kebahagiaan. (Foto: Pixabay)

"Jika dirimu sendiri tidak bahagia, bagaimana bisa kamu bisa membahagiakan orang lain". Sebuah ungkapan seorang ibu kepada anaknya di sebuah taman di salah satu desa di London.

Perasaan ini cukup mewakili seluruh perempuan (ibu) yang mengharapkan anak-anaknya bahagia dengan kehadiran cinta.

Perasaan ibu ini disampaikan kepada anaknya lantaran ia meninggalkan anaknya tersebut saat usia 12 tahun. Padahal jauh-jauh hari ia ingin sekali pergi, namun anaknya masih berusia 4 tahun. Akhirnya sang ibu memutuskan pergi ketika sang usia anak berumur 12 tahun.

Sang ibu pergi bukan karena benci kepada sang anak, melainkan karena cinta yang tidak ada dalam rumah tangganya. Ia tidak merasakan cinta terhadap suaminya hingga membuat dirinya sengsara dan tidak bahagia. Ia menilai, dalam rumah tangga tanpa cinta antara satu dengan yang lainnya tidak akan ada arti.

Kegelisahan dan rasa yang tidak bahagia mendiami dirinya beberapa tahun lamanya hingga akhirnya dirinya tidak tahan dengan suasana tersebut dan pergi. Ibu ini kemudian menikah dengan seorang lelaki lain yang pernah ia kenal. Si lelaki menunggu cintanya selama 8 tahun lamanya meskipun ia telah menikah. Ia yakin dengan cintanya bahwa cinta memiliki dimensi waktu.

Suami dari ibu ini merupakan sosok lelaki yang baik. Namun, keduanya tidak menaruh cinta dalam pribadi keduanya meskipun melahirkan seorang putri. Lalu apa yang terjadi, mereka menjalani hidup layaknya manusia biasa meski tanpa adanya kebahagian. Kesanggupan itu ternyata tidak bertahan lama hingga akhirnya keduanya berpisah demi kebahagiaan masing-masing.

Sang ibu menikah dengan pria lain dan hidupnya bahagia. Malahan keduanya menghabiskan waktu bersama hingga akhirnya hidupnya. Demikian juga sang suaminya hidup bahagia bersama anaknya hingga besar dan menginjak usia 21 tahun.

Di umur sang anak 21 tahun itu, baru ia menyadari betapa pentingnya kehadiran cinta dalam sebuah hubungan. Selama ini sang anak hanya menyalahkan sang ibu karena meninggalkannya. Kesalahan itu melahirkan kebencian yang amat mendalam. Sang anak pun hidup tanpa ibu namun memiliki sang ayah. 

Namun sang anak baru paham saat usianya 21 tahun. Ia menyadari bahwa ibunya tidak salah. Kebencian itu akhirnya melebur menjadi kerinduan karena pertemuan selama beberapa tahun lamanya terpisahkan oleh ruang dan waktu.

"Aku merindukanmu ibu," kata sang anak kepada ibu hingga memeluk ibunya erat-erat.

Komentar